catatan ibu #003 : Saya boleh saja tidak menikah.
Hari ini mendung, tidak ada panas juga tidak hujan. Ibu kesal karena jemuran tidak kunjung kering juga saya yang tidur seharian. Hari ini memang rasanya sangat pas untuk bermalasan di kasur. Lalu makan, lalu mandi, lalu pergi atau melanjutkan pekerjaan di malam harinya. Dampak dari pekerjaan saya yang dikerjakan lewat internet membuat jam kerja saya tidak sama dengan pekerja pada umunya. Setidaknya belum cukup untuk terhindar dari pandangan “bocah kok ngglesar ngglesor tok nang kasur” ibu saya.
Dulu waktu awal-awal saya kerja yang “nggak ngantor” gini, ibu saya sempat sedih karena dimata beliau saya hanya bermalas-malasasn saja. Ya tapi setelah dijelaskan ibu akhirnya mengerti, tapi ya itu, sampai sekarang saya masih sering di penging kalau hanya tidur-tidur saja.
Diantara perkataan guyon tapi nyentil ibu saya, sempat keluar kalimat yang sedikit menyita perhatian saya. Dalam bahasa Indonesia kurang lebihnya begini “kamu itu temen sebayamu udah pada nikah malah udah punya anak, kamu masih asik njaili adekmu, main PS sampe pagi” seperti biasa, awalnya hanya saya ballas dengan haha hehe ringan. Sampai akhirnya saya nyeletuk ke ibu saya “bu, kalau saya nggak menikah, nggak mau berkeluarga, dan nggak mau punya anak, apa ibu nggak papa?”
Ibu saya yang memang suka bercanda menjawab “kamu nggak homo kan tapi” hehehe ya begitulah beliau. Setelah memastikan putranya bukanlah homoseksual, beliau melanjutkan bahwa ya nggak papa kamu nggak mau menikah, toh menikah bukan tujuan puncak dari kehidupan. Kalau kamu mau menikah dan punya anak si ibu bakal seneng. Tapi kalau tidak juga nggak papa, ini hidupmu kok. Asal kamu siap dengan resiko kesepian di hari tuamu. Temen-temenmu itu besok bakal punya keluarga dan akan mengubah iklim berteman kalian nantinya.
Banyak hal prinsipil dibelakang alasan saya punya pandangan bahwa saya tidak mau menikah. Yah tapi umur saya masih muda si. Belum juga tida puluh, masih banyak yang akan berubah di masa depan. Toh tidak semua alsan harus saya ceritakan ke ibu saya. Nantinya malah beliau banyak yang nggak ngerti karena bahasa saya yang terlalu ndakik ndakik.
Komentar
Posting Komentar