Satu Gram Emas dan Sembilan Gram Sabu
Sekitar dua bulan lalu seorang teman resmi menjadi seorang bapak, hari ini seorang lainnya menyusul dengan kelahiran anak pertama. Doa mengalir sepanjang hari, berbanding lurus dengan harapan-harapan juga ketakutan yang menyertai. “Tambah satu nyawa yang harus ditanggung, harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan hidup”
Dalam lubuk hati terdalam, saya senang bukan main, ada bangganya juga. Seseorang yang saya kenal baik sejak limbung masa remaja, menjalani hari dengan selalu memberi makan adrenalin, melewati akhir bulan hanya berbekal kebahagiaan, dan kepala yang terlalu kecil untuk menampung ego yang besar.Sekali lagi, suka cita yang berbanding lurus dengan ketakutan itu sendiri.
Paling tidak untuk diri sendiri, ketakutan selalu menyertai. Setiap kali ada teman yang memutuskan untuk menikah, saya selalu takut. Ketakutan yang terpupuk karena satu dan lain pengalaman. Kegagalan jelas satu paket dengan rencana, keterpurukan dan kekecewaan satu paket dengan harapan. Karena saya kenal dekat dengan mereka, kurang lebihnya saya tahu bagaimana sikap yang akan mereka ambil saat dihadapkan dalam peristiwa atau tragedi. Bagaimana mengelola keuangan, emosi, dan masa depan yang masih tidak tahu akan bagaimana. Kondisi hidup di Indonesia yang semakin hari makin tidak jelas untuk kita para orang dewasa, apalagi untuk si kecil yang baru menyapa dunia yang indah, ceria, gemilang, dan suka cita dengan bundling kesedihan, rasa takut, lengkap dengan lauk pauk kemungkinan-kemungkinan yang bias entah sampai kapan.
Menikah adalah keputusan yang berani. Untuk saya sampai sekarang selalu beranggapan hanya orang-orang beranilah yang memutuskan menikah, persetan dengan segala alasannya.
Saya tidak mau menikah. Tadinya mau kalau sama “orang itu” tapi ya sepertinya rada susah untuk merealisasikannya, ada banyak penyebab tapi kali ini tidak akan saya masukkan ke dalam tulisan ini.
Tidak mau menikah bukan tidak akan menikah. Rasanya saya terlalu sombong kalau bilang tidak akan. Tidak tau kalau masa depan berkata lain, misalnya ada janin yang harus saya pertanggung jawabkan kelahirannya? (semoga bukan karena itu sih) Tapi semoga saya selalu bisa menjadi orang yang bertanggung jawab, entah terhadap perilaku atau perkataan.
Saya belum bisa membayangkan bagaimana saya akan menjalani hidup kalau tidak menikah, saya juga kurang suka membayangkan hari-hari yang belum tentu kejadian atau tidak. Bersyukur kepada Tuhan karena diberikan teman-teman yang selalu menyenangkan setiap harinya, jadi saya bisa melimpahkan cinta kasih dengan brutal kepada mereka. Toh cinta tidak selalu perihal romansa dan erotisme. Untuk sekarang ini jauh lebih menyenangkan.
Saya cinta hari ini, saya cinta menghabiskan 24 jam perhari dengan pekerjaan dan teman yang selalu datang membawa cerita atau candaan tidak bermutu yang tetap saja kami tertawakan. Toh tidak perlu selalu mengejar harapan se mati-matian itu. Toh kita hidup setiap hari, mati cuma sekali. Hari ini saya ingin menikmati kemalasan saya, sepuluh menit lagi cuci kaki, gosok gigi, dan menonton series yang lama belum saya mulai. Mungkin besok saya akan membersihkan kamar, mungkin juga hanya bekerja dan bermalasan sehari. Yang penting saya senang.
Komentar
Posting Komentar