WE BECOME THE ONE THAT WE HATE.

 




  1. Seperti apa kehidupan yang saya idamkan? Saya tidak tahu.


Pertanyaan tersebut belakangan sering hadir dikepala. Entah sekedar mampir sejenak lalu hilang digantikan atau menetap untuk beberapa waktu yang mengganggu. Canggung rasanya memikirkan sesuatu yang bahkan kita sendiri belum sampai ke titik awalnya. Terlalu mengganggu untuk disepelekan dan terlalu naif untuk sengaja meluangkan waktu membedahnya satu per satu. 


  1. Seperti apa kehidupan yang saya idamkan? Saya masih tidak tahu.


Saya waktu itu nonton podcast dimana narasumbernya membicakan perihal ambisi hidup. Mereka meng-amini satu kesimpulan dimana anak yang lahir dan tumbuh di keluarga yang berkecukupan cenderung hidup santai tanpa ambisi menggebu di umur dewasa. Alasannya sepele, karena gairah masa kecilnya tercukupi dengan materi dari orang tua berpenghasilan mapan. Sedangkan lawan bicaranya ngomong bahwa dia menjadi manusia yang penuh ambisi karena datang dari keluarga yang kurang mampu, sehingga masa kecilnya tidak terpuaskan keinginannya lalu tumbuh menjadi manusia dewasa yang selalu bekerja keras dan totalitas agar harapannya segera terwujud. Tidak ada yang menarik atau baru sebenarnya dari obrolan tersebut, tapi ada satu yang mengganggu. Saya (yang  berangkat dari keluarga tidak mampu) tidak seperti itu. 


  1. Seperti apa kehidupan yang saya idamkan? 


Saya beranjak dewasa dengan kebencian yang sangat mendalam kepada kondisi sekitar, eksternal dan internal. Saya benci kepada guru bahasa Jerman saya, saya benci kepada rekan satu tim basket pada saat SMA, saya benci kepada keluarga dari pihak ibu, saya benci kepada mantan rekan band saya. Saya punya kebencian mendalam kepada pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab, saya benci kepada hal-hal yang tidak pasti, saya benci kepada hujan pada siang hari. Saya punya kebencian mendalam kepada masa kecil akibat ayah saya, saya benci setengah mati kepada ayah saya dan akhirnya saya sempat membenci diri saya sendiri. 


  1. Seperti apa kehidupan yang saya idamkan? 


Cukup lama saya menjadi pribadi yang semenyebalkan itu, Sampai tidak sekali dua kali terjadi tensi tinggi bahkan saat bersama teman sendiri. Saya benci perokok dan pemabuk pada saat remaja. Ayah adalah contoh terburuk yang bisa saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Tapi sialnya, saya melakukannya, sampai sekarang. Bahkan saya pikir, porsi alkohol dan rokok yang saya konsumsi adalah porsi yang tidak akan pernah ayah saya konsumsi (paling tidak saya tidak pernah melihat beliau merokok 3 bungkus sehari dan meminum alkohol sebanyak saya) Dulu saya benci ayah pulang kerja mabuk,merokok di setiap sisi rumah, dan tempramen yang tidak bisa dikontrol. 


Sial beribu sial, saya menjadi versi ayah yang saya benci. Dengan beribu alasan yang bisa dijadikan tameng bahkan untuk diri saya sendiri. Awal tahun ini memunculkan kembali kebencian tersebut. Liburan kantor yang harusnya menjadi sesi ketawa-ketiwi berubah menjadi salah satu hal yang paling saya sesali sepanjang bekerja di tim ini. Tidak tahu batasan dan akhirnya memunculkan sifat yang sudah berusaha semaksimal mungkin dipendam. Malu setengah mati, menyesal sambil mengumpat pada diri sendiri. Harusnya bisa lebih tahu diri. Parahnya, entah mungkin ini hukuman dari tubuh, akhirnya saya terserang kondisi yang akan sangat merepotkan untuk waktu yang akan datang, GERD. Wallahi brother, im almost finished.


  1.  Sedangkan hidup sedang seperti ini.


Saya percaya perasaan tidak akan pernah hilang, itu akan tetap ada. Mengendap didalam hati, digantikan perasaan lain yang lebih besar. I become the one that i hate, versi ayah yang sangat saya benci. Mengkonsumsi alkohol tanpa tahu diri, merokok tanpa henti, dan seseorang yang tempramental. Sederhananya, saya selalu benci dengan orang yang tidak bisa mengendalikan diri. Tidak tahu batas, dan emosional. 


Tapi namanya juga hidup, peristiwa memberi saya pengalaman. Rasa benci yang terpupuk sejak kecil memberi saya pelajaran dalam menyikapi suatu perasaan. Jauh didalam lubuk hati yang paling dalam, saya masih menyesalkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada keluarga. Bagaimana Ayah menjadi sosok yang tidak pernah saya idamkan. Memberikan trauma terhadap menjalin hubungan antar manusia yang sampai sekarang masih membuat was-was. “Terima atau tidak kan dia tetap Ayah saya” Begitulah cara sederhana saya menjaga kewarasan. Atau paling tidak, “Kalau tidak bisa memaafkan dia sebagai Ayah, bicaralah yang baik karena dia orang yang lebih tua dari kamu” Kalimat yang sering saya sampaikan kepada adik-adik saat menjawab ketus telepon Ayah dari pengasingan.Kami memang kehilangan sosok ayah, tapi kami tidak boleh kehilangan sopan santun.


  1.  


Saya rasa hidup adalah lingkaran yang tidak pernah berhenti. Menjadikan kehidupan yang penuh dengan kejutan. Mungkin perlu diamini juga bahwa fase itu nyata dan amin.


  1.  Life is full of circle


Manusia dibagi menjadi tiga tipe dalam menyikapi pembelajan. Orang bijak yang belajar dari pengalaman sendiri, orang pintar yang belajar dari pengalaman orang lain, dan orang bodoh yang sama sekali tidak belajar dari pengalaman. Saya sih selalu berharap saya selalu bisa belajar dari pengalaman sendiri maupun orang lain. Rasanya tidak adil juga menyatakan saya menjadi seorang yang gagal hanya karena saat ini versi Ayah yang saya benci. Semoga juga dengan kesadaran bahwa hal-hal yang terjadi belakangan ini tetap menjadikan diri sendiri sebagai pribadi yang menyenangkan. 

Rasa syukur terbesar jelas karena diberi kesempatan bertemu dan berteman dengan orang-orang baik dan menyenangkan, semoga kalian semua sehat dan tetap mau menegur setiap perbuatan saya yang tidak tahu batas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Album of the month #June : Eleanor whisper - Mati Bersemi (2024)

DEVIANT ROGUE FRACTION OF DISMAY PRESS RELEASE