Utang rasa #2 : Freddy Bataona, Teko’su, dan orang Timur.
“theres goes a song from a eastern man, with his tifa and mouth like flower. Theres goes a songcomes from the deep within, with his feeling murdered family, by the royal army”
Oscar lolang menceritakan pengalamannya tentang orang timur dalam sebuah lagu Eastern man. Sebelumnya saya tidak terlalu mengacuhkan lagu ini, sampai saya bertemu Freddy Bataona. Bang fred, biasa saya memanggilnya, adalah gambaran kakak laki-laki yang saya idamkan. Dewasa, kerja keras, dan lucu. Menarik kebelakang, pertemuan pertama kami kurang berkesan baik karena saya ditinggal bengong sampai merokok habis dua bungkus. Yah karena dia juga sedang ngobrol dengan orang lain juga sebenarnya.
Di awal-awal merantau ke kota sebelah, sift saya bekerja selesai lewat tengah malam dan masih ada kebutuhan sosial walaupun untuk sekedar nongkrong. Itung-itung mencari kawan baru, toh pekerjaan saya waktu itu sungguh membosankan. Saya melihat tempat beliau, Teko’su buka sampai larut pagi. Tipikal tempat nongkrong yang saya butuhkan.
Waktu itu saya orang yang yakin bahwa bang fred tidaklah satu orang. Dalam satu hari, dia mengerjakan dua sampai tiga pekerjaan, kemampuan bagi waktu yang saya curiga beliau melakukan teknik rogo sukmo. Kegilaannya tidak berhenti sampai situ, bang fred adalah tipikal manusia pencerita kelas wahid. Maklum, segudang pengalaman pahit manis hidup tidak akan habis jika kamu ngobrol dengannya. Orang ramah yang akan dengan gampang membuat orang lain merasa akrab dengan durasi satu jam duduk bersama.
Bersama adiknya Jimi, bang Fred mengelola Teko’su, usaha street coffee berbentuk vespa yang dimodif sespan disampingnya jadi meja bar. Sebuah usaha kecil dengan mimpi besar didalamnya. Saya kurang ingat tempat mangkal pertama mereka di mana, seingat saya ada satu partner bang Fred yang memilih keluar karena kesibukan sebelum akhirnya mereka pindah mangkal di depan ruko selokan mataram. Nah disitulah pertama kali saya bertemu dengan beliau.
Pembicaraan kami awalnya hanya seputar kopi saja. Satu topik sepele yang dari awal yang jadi penyatu kami. Saya bercerita tentang kondisi petani kopi di kampung saya yang mulai memprihatinkan, dan bang Fred bercerita tentang kampung halamannya yang tidak kalah menyedihkan. Sedikit ada tendensi adu nasib sebenarnya, tapi karena kami berdua adalah tipe pendengar yang baik, hal-hal diluar topik utama akan kami biarkan saja. Pertemuan-pertemuan selanjutnya terjadi begitu saja, tanpa pernah ada janji dan usaha untuk sengaja bertemu. Topik bahasan kami tidak pernah diawali dengan hal-hal yang serius, kebanyakan sambatan perkara pekerjaan, lucu-lucu, lalu berakhir di pengalaman-pengalaman hidup masing-masing. Progres hubungan kami memang lumayan romantis jika ditulis dalam kata-kata, tapi kenyataannya jauh.
Kami sempat nyeletuk jika ada orang lain yang tidak paham kami berdua, awam akan menganggap kami sedang bertengkar. Maklum, Timur ketemu Batak dengan nada bicara sama-sama tinggi memang gampang menimbulkan salah paham. Tapi untuk beberapa waktu, kami bisa kok ngobrol dengan nada yang biasa dan santai saja.
Freddy muda adalah anak yang sial. Lahir di tahun dimana provinsi Timor sedang terjadi pergolakan militer. Bang Fred kecil biasa dengan keadaan bernyanyi di sekolah taman kanak-kanak diiringi suaran senapan yang entah dari mana tibanya. Tinggal di tenda pengungsian, menjadi remaja bajingan karena situasi, lalu menjadi pria yang lebih dewasa karena rentetan pengalaman hidup yang luar biasa kalau tidak mau dibilang porak poranda. Sampai memutuskan pindah ke Jogja saat SMA, putus kuliah, bekerja, membuat usaha. Template anak perantauan. Tapi freddy beruntung, keluarganya selalu ada untuknya, setidaknya itu yang menyadarkannya untuk selalu menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Saya dan bang Fred punya satu prinsip yang sama. Bahwa dalam berbisnis kedai kopi, tempat nongkrong, atau apapun yang mengumpulkan massa perkaranya bukan hanya bagaimana produk laku, tapi juga bagaimana membentuk komunitas. Teko’su sukses bertahan dengan konsep itu. Berangkat dari street coffee, sekarang Teko’su sudah membuka kedainya sendiri. Tidak luas, tapi itu adalah konsep tempat yang kami sempat idam-idamkan bersama.
Teko’su sekarang adalah tempat idaman kami berdua. Oh iya, sekedar cerita, saya pernah ikut mengelolanya bersama Jimi dalam waktu yang singkat karena setelah itu kami ketiban sial, pandemi datang tiba-tiba mengharuskan kami tutup untuk waktu yang lumayan lama. Teko’su yang sekarang menurut saya masihlah Teko’su yang dulu, kehangatan orang-orang yang ada di sana, topik obrolan ringan yang berubah jadi ide besar, dan terbuka untuk siapa saja. Rata-rata orang yang nongkrong di Teko’su saling kenal. Bukan dari awalnya seperti itu, tapi keakrabannya terjadi begitu saja saat berawal dari sekedar tegur sapa. Semuanya masih sama saja, hanya secara tempat sekarang lebih manusiawi, tidak benar-benar dipinggir jalan yang harus bubar saat hujan sialan tiba-tiba ikut mampir.
Sebelum saya mengenal bang Fred dan nongkrong di Teko’su, saya tidak punya banyak teman orang timur. Terbatas pada teman-teman asrama di SMA saya dulu. Saya beruntung karena tidak terjebak stigma buruk yang ada pada masyarakat Timur pada waktu itu. Teman-teman dari Timur yang akrab dengan saya di Teko’su selalu mengingatkan saya dengan serial komedi Epen kah, Cupen toh. Didalam sela-sela dark comedy yang mereka lontarkan, saya masih bisa mencium aroma getir yang miris akan keresahan-keresahan mereka dengan keadaan yang ada saat itu.
Bertemu anak muda dari Timur seakan rejeki untuk saya. Seakan menemukan tandem diskusi isme-isme yang tidak bisa ditemukan dengan teman sebaya sebelumnya, tidak sekali dua kali kami ngobrol dari malam sampai pagi terang. Saat itu, kami serasa saling memberi makan adrenalin masing-masing. Maklum, kami masih sangat muda dengan idealisme yang besar. Tapi paling tidak kami belajar banyak, dari pengalaman masing-masing, latar belakang yang berbeda, juga pola pikir yang tidak sama. Dan alhamdulillah puji Tuhan sampai sekarang hubungan kami masih akrab.
Sekali lagi, saya termasuk beruntung dalam bergaul dengan orang Timur. Baik dan jahat jelas tidak mengenal ras apapun, semua jenis kelompok masyarakat pasti ada saja yang salah satu atau dua atau tiga anggotanya yang masuk ke kategorikan jahat atau baik. Tapi, terlepas dari semua stigma yang menempel pada orang Timur pada waktu itu, saya mendapatkan pengalaman yang sangat menyenangkan bisa berkenalan dengan teman-teman dari Indonesia Timur di Teko’su.
Teko’su dewasa ini membuat saya teringat pada impian bang Fred yang pernah dia lontarkan pada saya dulu. Daniel, kalau saya nanti punya usaha. Saya tidak mau usaha saya hanya perkara remeh sekedar jual beli. Saya ingin orang-orang yang datang bisa tanpa ragu mampir tanpa memikirkan rasa tidak enakan karena tidak punya uang. Datang, sambat, sebat, mengucap keparat kepada hidup yang lebih mirip negeri silat, lalu pulang untuk menjadi lebih kuat. Perkara penghasilan? Ah itu bisa saja di usahakan dari hal lain, yang penting Teko’su bisa jadi rumah bagi para pesakitan, atau suaka bagi hati yang luka. Toh sampai sekarang, ada saja rejeki yang datang dari Teko’su yang seperti itu.
Akhir kata, saya pernah bilang ke bang Freddy waktu pertama datang ke Teko’su baru. Bang, aku nggak merasa ikut campur didalam perkembangan Teko’su sampai semapan sekarang, tapi entah kenapa aku ikut bangga. Mungkin ini hanya perasaan solidaritas senasib sepanaggungan anak rantau. Tapi yakin, tidak hanya saya saja yang beranggapan seperti itu. Semoga niat baik ini tetap terpupuk, dan terjaga dengan api semangat. Sehat terus, berkah terus. Freddynandus willbrodus Bataona, Teko’su, dan teman-teman semua.
Komentar
Posting Komentar