apasih #006 : Merch mulu, mana lagu barunya?
Saya termasuk orang yang bisa dibilang sial saat mengidolakan musisi lokal. Kasusnya adalah kalau musisi tersebut tidak bubar, mandek bikin karya, atau personilnya mencar lalu bandnya vakum. Ya memang tidak ada yang menjamin bahwa nge-band bakal everlasting. Setiap orang punya kondisi masing-masing untuk menentukan apakah lanjut atau rampung. Toh kita juga tahu menjadi musisi lebih banyak pengeluarannya apalagi pada masa awal berkarir.
Tapi pernahkan kamu sebal sama musisi yang tidak pernah rilis karya, tapi merch jalan terus dan intensitasnya lumayan tinggi? Sampai-sampai dikira namanya adalah merk clothingan bukan nama band. Seringai dan Burgerkill sempat mengalami itu. Tapi kita bisa mengesampingkan dua band tersebut karena faktor-faktor tertentu, salah satunya ya karena sudah jadi band legenda di skena dengan basis fans yang militan. Teenage death star masih menjadi anomali tersendiri untuk dimaklumi. Dengan hanya satu album penuh berusia belasan tahun, kita masih bisa melihat antusian penonton setiap manggung dan kencangnya rilisan merch yang hampir setiap bulan.
Kalau kita mau saklek, harusnya memang musisi adalah pembuat karya. Karyanya apa? Lagu. Lalu album, juga manggung. Sederhana saja sebenarnya. Rilis pernak-pernik itu penting. Perannya sebagai bahan koleksi penggemar, juga salah satu pemasukan alternatif band. Lah tapi kalau tidak pernah rilis lagu atau manggung juga jarang-jarang, tapi merch jalan terus dan harganya selangit?
Awalnya saya adalah orang yang nyinyir soal fenomena ini. Bagaimana tidak? Tanpa pembaruan karya juga kegiatan panggung, apa yang perlu diapresiasi dari musisi tersebut? Yang membuat saya makin jengkel adalah saat konten sosial medianya lebih banyak postingan promosi merch daripada foto manggung atau aktivitas bermusik. Belum lagi kalau ini band baru mulai, masih start up lah istilahnya. Nilai jual apa yang bisa diberikan agar kita beli merch mereka?
Dulu saya pernah punya band, sekarang sudah bubar. Sesaat setelah rilis lagu, saya didesak teman-teman agar segera rilis lagu selanjutnya. Kalau belum memungkinkan ya setidaknya bikin kaos band lah. Karena permintaan untuk lagu baru agak sulit dalam waktu dekat, akhirnya kami membuat desain untuk kaos saja. Dari awal kami sudah memutuskan bahwa tidak akan mengambil keuntungan dari kaos. Dalam artian tidak menjual kaos dengan harga yang melebihi biaya produksi. Karena kami merasa bukan siapa-siapa dan belum punya nilai apa-apa untuk mengambil keuntungan dari kaos yang kami jual. Disamping itu juga kami berusaha untuk tidak membuat band menjadi lahan mencari uang. Modal untuk rekaman ya cari sendiri. Selama kami belum mendapat bayaran dari panggung kami akan berusaha menghidupi band kami tanpa perlu “berjualan” lewat band.
Tapi jelas itu adalah sudut pandang yang sempit. Dan faktanya, boleh-boleh saja band berjualan lewat merch. Toh tanpa kita sadari kita sendiri yang membuat ekosistem bermusik menjadi seperti ini. Setelah banyak berjejaring dan bertemu berbagai kasus bermusik, akhirnya sudut pandang baru datang. Ternyata, tidak semua band juga nyaman menjual merch dengan caption sosial media yang lebih mirip shitpost tanpa merilis karya baru dalam waktu terdekatnya. Tidak semua anak band juga meletakkan kebutuhan bermusik mereka di urutan pertama untuk pengeluaran bulanan. Jadi bukanlah suatu hal yang salah kalau mencari tambahan “pemasukan” untuk kelangsungan band.
Kembali lagi ke kita sebagai penikmat skena. Jika bisa lebih menghargai ekosistem yang ada, band juga tidak akan mencari uang ekstra dengan ngebut jualan merch. Menilik beberapa tahun ke belakang di gigs underground ber-HTM sepuluh ribu saja, coba anda ingat berapa teman atau abang-abangan respect yang masuk tanpa bayar tiket dengan alasan “alah temen ini” atau mungkin anda sendiri pernah meminta free pass karena yang main band teman sendiri? Tidak mau berbohong, saya pernah melakukan itu.
Mari kita berpikir sejenak teman-teman. Jika dalam gigs ber-HTM sepuluh ribuan saja misalkan ada sepuluh orang yang “nrabas” maka kerugian panitia saja sudah seratus ribu, itu mungkin angka yang kecil jika dibandingakan festival besar. Tapi jangan salah, pemasukan dari gigs kolektif kebanyakan ya dari tiket jika ber-HTM. Lagipula pemasukan gigs juga untuk apresiasi band yang main dan kelangsungan kolektif itu sendiri. Bahkan tidak jarang juga keuangan acara ditanggung oleh urunan band yang main tanpa campur tangan sponsor luar dan jika masih kurang siapa lagi yang mengemban tanggung jawab untuk nombok? Tidak lain dan tidak bukan ya panitia.
Dari hal-hal yang tersebut diatas saja, sudah bisa kita pahami kenapa band merasa perlu mencari pemasukan tambahan untuk mengidupi musik mereka. Contoh lainya adalah masih banyaknya panggungan tanpa bayaran. Untuk skala gigs komunitas, rasanya kita terlalu sering mengglorifikasikan semangat kolektif. Ya memang bagus spirit saling suport, tapi ya mbok dipikirkan juga kelangsungan band yang main. Ini sebenarnya masih lanjutan dari kondisi pertama tadi. Dimana kita kadang “tega” untuk hanya meminta tolong ke band yang akan mengisi mau itu dari dalam atau luar kota untuk mengisi acara. Sekali dua kali sih oke, tapi kalau kebiasaan ini terus dilakukan ya kasihan bandnya dong. Paling tidak sediakan akomodasi dan uang bensin yang layak. Toh saya yakin teman-teman dari luar kota kurang lebih juga mengerti seperti apa keadaan keuangan komunitas daerah lain. Jangan sampai sudah effort untuk datang dari luar kota hanya dibayar 2M alias makasih mas, kan kecewa. Malah kadang ada panitia yang tega untuk meminta band dari luar kota yang notabene diajak untuk ikut “patungan” acara. Ini pendapat pribadi sebenarnya, agaknya kurang etis jika band dari luar tetap diminta urunan atas nama kolektif terlepas mau atau tidaknya si band tersebut.
Itu masih di gigs-gigs kecil, belum di kasus-kasus yang terjadi pada skala festival ber-rigging besar. Contoh yang paling sering kita temukan adalah kurang diapresiasinya, oh maaf. Tidak diapresiasinya musisi lokal bahkan pada festival yang ada di kota sendiri. Jarang sekali musisi lokal menjadi headliner di festival setempat yang mengundang “artis ibu kota” Oke, kalau alasannya adalah bisnis, saya akan berhenti sampai disini. Tapi jika sampai tidak ada musisi lokal yang setidaknya menjadi penampil pembuka di acara tersebut dan malah mengundang musisi kota lain yang kualitasnya tidak beda jauh dengan yang lokal? Inikan namanya memang kurang ajar. Dan parahnya, tidak jarang band dengan status “penampil lokal” tidak mendapat fasilitas untuk sekedar check sound.
Nah ada lagi kejadian yang tidak kalah kurang ajar. Beberapa tahun lalu alah satu festival besar akhirnya memenuhi line upnya dengan artis lokal. Saya ikut senang sampai saya tau satu hal, dan jadinya tidak habis pikir. Musisi lokal yang pada awalnya dijanjikan fee sama rata dengan nominal sekian, beberapa hari kemudian dihubungi kembali oleh pihak festival. Coba tebak untuk apa? Ya! Benar sekali, fee mereka dinego habis-habisan. Dari yang tadinya lumayan, jadi jauh sekali dari awal perjanjian.
Diatas adalah sedikit dari banyak contoh bagaimana sebenarnya kita masih kurang menghargai teman-teman musisi. Untuk sekarang saya rasa wajar mereka mencari tambahan dengan salah satunya jualan merch. Paling tidak untuk balik modal biaya rekaman dan latihan mereka. Selama ekosistem bermusik dan skena masih seperti ini, ya kita maklumi saja jika ada teman musisi yang jualan atau menerima job weddingan bahkan reguleran. Bermusik itu mahal teman-teman, kita sadar itu. Bermusik juga keputusan yang berani, apalagi jika memutuskan untuk menjadi musisi penuh waktu. Sudah sepantasnya keputusan berani dihargai lebih, jika bukan oleh kita-kita ini ya siapa lagi?
Komentar
Posting Komentar