Platform musik digital, memudahkan atau merugikan?
Kalau istilah banyak orang, semakin maju suatu peradaban
makin banyak juga masalah didalamnya. Inovasi, penemuan, riset, dan upgrade
sudah satu paket dengan resiko pro dan kontranya. Tidak bisa dihindari hal ini
juga terjadi pada dunia musik. Sejak permulaan era musik modern dimana sudah
diadakannya konser di lapangan kota sampai sekarang gigs kecil yang dimainkan
di garasi kecil, musik sudah mengalami banyak perubahan dalam perkembangannya.
Kita semua, walaupun tidak hidup pada setiap era bagaimana
musik dinikmati dalam platform yang beda-beda (kaset, plat, cd, dll) kita semua pasti familiar dengan hal tersebut. Dulu kita mengenal plat atau vinyl yang
berisi rekaman lagu untuk kita putar dirumah menggunakan player dan
gramofonnya, sampai akhirnya sekarang kita menggunakan streaming digital yang
memudahkan kita mendengarkan musik dimanapun dan kapanpun kita mau. Jelas, bagi
kita ini sangat memudahkan para pendengar musik karena dari sisi kepraktisan
kita tidak perlu lagi direpotkkan dengan player khusus seperti saat
mendengarkan dengan plat atau kaset. Walaupun sebenarnya kemudahan seperti ini
sudah ada sejak era digital download (yang rawan pembajakan) era streaming
digital masih jadi favorit bagi para penikmat musik sekarang karena hanya memerlukan
gawai di genggaman tangan.
Namun bagaimana efeknya secara langsung kepada musisi?
Apakah kemudahan dalam mendengarkan musik sama juga dengan “lahan baru” bagi
para musisi dalam menjajakan karya mereka? Jawabannya bisa iya bisa juga tidak.
Platform musik digital yang hadir untuk memudahkan musisi untuk mencapai pasar
yang lebih luas dan memudahkan akses untuk materi kreatif musisi tersebut.
Sebagai catatan, setiap platfom musik mempunyai regulasi sendiri-sendiri dalam
membayar karya para musisi. Berapa yang bisa didapat musisi setiap kali kita
memutar lagu mereka jelas sangat berpengaruh terhadap pemasukan musisi
tersebut. Itupun kalau kita memakai aplikasi resmi yang bukan bajakan, karena
jika menggunakan versi bajakannya, minute playnya tidak akan masuk ke jatah
musisi tersebut.
Sebagai contoh, spotify sebagai platform streaming musik
digital paling populer saat ini hanya membayar $0,0032 atau sekitar Rp 50 per
stream. Hal ini jika dilihat dari sudut pandang musisi independen yang baru
mulai jelas suatu hal yang memberatkan. Jika dihitung-hitung, dalam 1.000
streamingnya, musisi hanya dapat $3,14 dolr atau Rp 44.000, lebih dari 80%
responden survey yang dilakukan oleh The musician union hanya mendapat penghasilan
kurang dari 200 euro atau Rp 3,9 juta sepanjang tahun dari spotify. Nominal
tersebtut kalah jauh dibandingankan artis besar macam Drake yang pada tahun
2019 meraup keuntungan setara Rp 170 miliar hanya dari streaming lagu di
spotify, atau penyanyi macam Bad Bunny yang mengumpulkan lebih dari 8,4 miliar
stream yang jumlahnya jauh lebih besar dari jumlah populasi di dunia. Artis
besar yang sudah mempunyai penghasilan utama dari konser dan iklan ditambah
pendapatan miliaran dari streaming musik jelas memperlihatkan ketimpangan
kesejahteraan dengan musisi indie yang melakukan semuanya sejak dari produksi
musik mereka dengan modal bismillah.
Hal ini diperparah dengan adanya para artis palsu dan playlist
settingan. Artis palsu disini adalah artis yang lagunya hanya berisi
ambient-ambient berdurasi kurang dari 40 detik. Ya! benar 40 detik, ini disebabkan adsense spotify
akan terhitung sejak 30 detik pertama selama pemutaran lagu. Miris kan? Oh tapi
tenang, ini belum seberapa. Beberapa waktu lalu Spotify “kepergok” modalin
sebuah rumah produksi daris wedia untuk membuat artis-artis palsu dan
menyatukan di playlist yang terkoordinasi. Tidak tanggung-tanggung lebih dari
10 fake artis telah meraup lebih dari 1,2 miliar stream, bayangkan uang yang diraup
Spotify dari praktik ini. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, Spotify menyikapi
hal ini dengan ogah-ogahan, tanpa adanya tindakan serius. Padahal, spotify yang
mendapat keuntungan dari para musisi yang karyanya di upload di platform mereka
harusnya lebih memperhatikan hak-hak musisi "beneran" mereka karena tidak semua musisi
sesukses Drake atau Ariana grande.
Dari ketimpangan yang terjadi di platform Spotify, muncul gerakan
bernama UMAW (Union of Musicians
and Allied Workers). Beberapa point penting yang mereka minta kepada Spotify
antara lain;
1. Spotify membayar artist sebanyak 1 sen
per stream.
2. Spotify menjadi lebih memiliki transparansi
finansial, termasuk perihal kontrak mereka terhadap Major label, distributor
dan perusahaan management.
3. Spotify menghentikan perseteruan hukum mereka
soal royalty.
Gerakan ini jelas didasari pada keprihatinan para sesama
musisi yang menggantungkan salah satu pendapatan mereka dari streaming musik
ini.
Berbeda halnya dengan Spotify, Bandcamp yang juga jadi
tempat para musisi “menjual” karya mereka bisa bersikap lebih suportif kepada
musisi di masa pandemic seperti sekarang ini. Sedikit berbeda dengan Spotify, bandcamp
juga menyediakan digital download dengan cara membeli album digital para musisi
dengan harga yang terjangkau. Hal ini secara finansial sebenarnya lebih
menguntungkan para musisi jika dibandingkan dengan hanya kita stream lagu
mereka satu persatu. Apalagi, Bandcamp hanya mengambil 10% dari keuntungan
musisi yang menjajakan karya di platform mereka. Sejauh ini, Bandcamp adalah
salah satu platform yang bahkan berani memberi 100% keuntungan album digital
dan stream kepada musisi tersebut.
Ini adalah event yang diadakan oleh Bandcamp pada hari Jumat
pertama di setiap bulannya. Pertama kali di lakukan pada bulan Maret 2020 dan
diperpanjang sampai akhir tahun 2020. Tujuannya? Apalagi kalau bukan membantu
finalsial para musisi di masa pandemi. Ya walaupun 2020 sudah lewat, namun Langkah
ini sangat perlu diapresiasi karena terasa nyata efeknya kepada musisi itu sendiri dan tebukti di hari pertama event ini berlangsung penggemar musik
menghabiskan total $4,3 juta alias 15 kali lebih banyak dari hari biasanya.
Jika kita mau mendukung band-band independen dalam negeri, kolektif
Noisewhore meluncurkan platform bagi para musisi yang ingin menjual album
digital dan merch mereka dengan hanya mendapat potongan 10% saja dari penjualan.
Pembagian ini pun bagi saya pribadi sangat menguntungkan musisi, toh potongan
10% yang diambil digunakan sekedar untuk pemeliharan situs saja. Kalian bisa
mngunjungi web Thestorefront dan melihat-lihat “barang dagangan” para musisi
yang dipajang disana. Melihat harga yang bersahabat (atau malah cenderung
murah) tidak akan membuat kita berpikir dua kali, toh disamping membeli juga
terdapat niat support.
Seperti yang ditulis di awal tadi, perkembangan, inovasi, dan
penemuan pasti sudah satu paket dengan pro dan kontranya. Musisi independent yang
terhitung veteran macam Deugalih pun merasakan dampak dari ketimpangan platform
musik digital ini. Bagaimana tidak, musisi sejak masih tersebesit ide lagu saja
sudah keluar modal, belum ngurusin rekaman sampai siap upload. Tapi yang dapet
duit malah yang bikin playlist dan parahmnya playlist dan likes di spotify bisa
diperjual belikan. Sebenarnya, apa yang diharapkan para musisi itu nggak
muluk-muluk, cuma minta dihargai haknya dengan pantas. Transparansi juga diperlukan
agar kejadian fake artist dan playlist pesanan juga dapat dihindari. Seperti yang
dilakukan oleh Thestorefront, mereka secara terbuka akses kepada perincian
keuangan mereka kepada para pengguna. Toh pada akhirnya mereka medapat
penghasilan dari karya yang diupload di platform mereka. Deugalih sebagai musisi yang karyanya ada di Spotify saja
sampe merasa kasihan sama diri sediri karena beranggapan yang repot siapa kok
yang dapet duit siapa, miris kan?.
Komentar
Posting Komentar