utangrasa #001 : The Wattimenan's

 Sebelumnya biarkan saya cerita sedikit bagaiman keluarga Wattimena sangat berarti bagi saya sekeluarga. Keluarga Wattimena sebenarna bukan siapa-siapa sebelum kami sekeluarga pindah gereja. Disanalah keluarga kami bertemu dan berikatan. Keluarga ini terdiri dari Opa dan oma Watt, begitu biasa kami memanggil lalu empat orang anaknya, kak Jelly, kak Nina, kak grace, dan mbak nia. Belakangan semuanya sudah berkeluarga dan punya anak. Saya kenal mereka semua sejak masih kecil, bahkan kejadian saya bersepeda hanya pakai kolor dan kaos dalam waktu kecil saja masih suka dijadikan bahan ledekan oma Watt ke saya. Jujur, keluarga kami pada saat itu adalah keluarga yang sangat pas-pas an cenderung kurang malah, nah keluarga Wattimena ini yang sering membantu keluarga saya dalam kesulitan dari segi moral dan material, mereka secara frontal bahkan telah menganggap kami adalah keluarga mereka sendiri, apalagi keluarga kami.

Saya pribadi paling dekat dengan mbak Nia, anak bungsu keluarga Wattimena. Saya sebagai anak laki-laki yang selalu ingin punya kakak perempuan merasa beruntung kenal mbak Nia. Saat remaja saya sering bercerita tentang hal remeh temeh seperti cinta masa sekolah, hingga masalah internal keluarga yang untuk remaja sekolah menengah sangat berat jika saya tanggung sendiri. Lagipula hal yang saya suka dari bercerita ke mbak Nia yaitu merasa lepas saja karena saya tidak perlu takut untuk dihakimi. Saya selalu bilang bahwa dia kakak saya ke setiap orang yang menanyakan hubungan kami, tapi kadang mbak Nia nggak mengakui hahaha tapi saya tau itu Cuma bercanda.

Selanjutnya adalah kak Nina, kak nin adalah anak kedua dari keluarga Wattimena dan yang paling “entengan”. Saya punya geng nongkrong pullang gereja yangkalau saya ingat sebenarnya diawali oleh kak Nin yang memulainya pertama kali. Saya ingat setiap natal, saya pribadi selalu dapat baju baru yang dibelikan oleh beliau ke saya. Saya juga sering bercerita keluh kesah atau sekedar bercanda minta dibelikan makanan ini ke beliau dan yang menyenangkan, seringnya saya dibelikan beneran. Sayang, kak Nin harus pergi duluan meninggalkan kami sekitar tahun 2015 karena penyakit yang dideritanya. Sejak kenal pertama, kak Nin memang sudah sakit tapi tidak terlihat sakit. Malah lebih sering terlihat periang dan kuat. Anak kak Nin dua, Chievo yang sejak TK sudah bersahabat dengan adik saya dan Arthur yang merupakan murid drum pertama saya, yah walaupun saya Cuma ngajar sedikit tapi ya saya cukup bangga lah tau dia masih melanjutkan main drum setelah pindah keluar kota ngikut kak Jelly.

Kak Nin, bagi saya adalah satu dari sedikit orang diluar ibu saya, yang tau bagaimana “ngandani” saya atas kenakalan masa kecil saya. Kak Nin, secara pribadi adalah kehilangan terbesar pertama diseumur hidup saya. Saya masih ingat bagaimana senyapnya saya pada waktu pertama saya dapat beritanya sampai hari-hari setelah pemakaman. Pemakaman kak Nin adalah pemakaman pertama keluarga Wattimena yang saya hadiri. Pemakaman kedua adalah pemakaman oma Watt.

Oma Watt, bagi saya adalah gambaran nenek yang ideal dalam imajinasi saya. Saya tidak pernah dekat dengan kakek nenek kandung saya, dan hanya mendapatkan gambaran nenek dari film, cerita teman, atau angan-angan saja. Oma Watt punya semua sifat nenek dalam gambaran saya. Sayang ke cucu-cucunya, perhatian ke anak-anaknya walaupun sudah berkeluarga, cerewet dan galak dengan sifat menyebalkan yang sepatutnya orang tua, namun punya kehangatan yang dirindukan siapaun yang kenal dia. Saya sayang sekali dengan beliau, saya yakin juga sebaliknya.

Oma Watt dan ibu saya adalah jembatan dari kedekatan keluarga kami. Saya tidak tau persis bagaimana awalnya tapi tau-tau keluarga kami sudah dekat saja, dan oma Watt sudah baik saja ke saya dan adik-adik saya. Dulu waktu kecil, saya sering ke rumah keluarga Wattimena bareng ibu dan adik sekedar mampir saja, atau karena oma habis masak. Begitu perhatiannya sampai tidak sekali dua kali oma pribadi mengumpulkan barang bekas tidak terpakai atau kardus dan plastik yang mana nanti diberikan ke ibu saya untuk dijual. Untuk kami yang waktu itu berangkat dari keluarga yang kurang mampu, hal ini sungguh berkah karena uangnya bisa untuk beli sekilo dua kilo beras beserta lauk yang seadanya, atau beli jajan grobakan sekedar menyenangkan hati adik bungsu yang sering kepingin namun kadang nggak keturutan.

Sampai sebelum saya kerja keluar kota, saya masih sering datang ke rumah mereka sekedar mampir makan yang kadang dimarah-marahin dulu, tapi pada akhirnya kalau saya nggak makan yang banyak saya dimarahin lagi (yang ini khas oma). Oma meninggal pada awal tahun 2019 karena sakit yang sudah lama dideritanya juga. Saya tidak tau harus berbuat apa saat itu, saya langsung cuci muka dan pergi rumah keluarga Wattimena. Saya tertegun sejanak, tidak banyak bicara sejak rangkaian awal sampai pemakaman. Saya hanya melihat beliau sebelum dikuburkan sejenak, itupun karena omongan mas Alang (suami mbak nia) “kamu lihat oma untuk yang terakhir kali Dan” inisiatif saya sendiri, saya tidak sanggup. Seumur hidup, saya tidak pernah menangis untuk suatu pemakaman, kecuali pemakaman oma Watt. Rasa sedih itu muncul setelah beberapa hari saya Kembali ke Jogja, saat itu saya sedang berdua di coffeeshop saya dengan pacar saya. Pacar saya tau persis bagaimana sedihnya saya dan berusaha memaklumi keheningan saya. Namun ternyata bendungan saya bocor, tanpa babibu saya menangis tersedu-sedu sambil ditenangkan pacar saya. Itu adalah tangisan karena kematian pertama dalam hidup saya dan sampai sekarang saya masih sering merindukan masakan oma, sup buah, omelan, dan omongan ceplas ceplos yang menyenangkan dari oma.

Lalu ada kak Jelly dan kak grace. saya nggak terlalu dekat dengan mereka karena waktu keluarga kami mulai dekat kak Jelly sudah pindah ke luar kota dan kak Grace sedang kuliah di Jogja kalau tidak salah. Kak grace menikah dengan mas Elly dan punya anak perempuan lucu sekali namanya Atta yang waktu kecil jika dipuji dengan tepuk tangan rame malah nangis karna takut. Kak Grace adalah orang paling emosional (dalam arti baik) di keluarga Wattimena. Kak Grace yang biasanya selalu paling terpukul jika ada kematian bukti bahwa dia sayang semua orang meninggal pada saat itu. Berbeda dengan kak Jelly, dia adalah orang paling tau bagaimana cara menghadapi pemakaman dengan keren.

Saya banyak belajar dari kak Jelly bagaimana harus bersikap sebagai anak laki-laki paling besar saat ada keluarga menghadapi suatu masalah. Saya tahu kak Jelly menangis saat pemakaman kak Nin dan Oma. Tapi setelah itu, dia tidak memperlihatkan kesedihannya ke muka umum dan tegar. Justru setelah itu, kak Jelly keluar dan menghibur keluarga dan adik-adik yang lain dengan guyonan khas bapak-bapaknya. Sekali lagi, saya memang jarang ketemu kak Jelly dan ngobrol personal dengannya namun bagi saya, beliau adalah salah satu orang paling keren yang pernah saya kenal secara pribadi.

Namun sebelum saya sempat lebih banyak lagi belajar dari beliau, kak Jelly meninggal beberpa hari yang lalu. Pemakaman kak Jelly adalah pemakaman ketiga keluarga Wattimena yang saya hadiri. Dan disetiap pemakaman keluarga Wattimena satu orang yang paling saya perhatikan adalah Oppa Watt. Oppa Watt adalah tipikal pria idaman kebanyakan wanita. Punya sisi tegas namun tetap ada sisi “takut istri” yang datang dari rasa sayang yang tulus. Bagi saya oppa Watt adalah gambaran ideal seorang ayah dan kakek, sepaket dengan Oma Watt. Mereka tau bagaimana cara mendidik anak yang benar agar tetap rukun dan saling membantu sampai waktu-waktu tua, saya tau sendiri bagaimana anak-anak keluarga Wattimena saling membantu jika salah satu mengalami kesulitan. Oppa Watt adalah orang yang tau bagaimana harus bersikap di setiap suasana. Guyonannya bagi kami yang muda-muda masih lucu dan nyambung saja. Oppa punya selera musik bagus yang saya juga suka, jadi kami kadang ngobrolin musik yang hanya kami berdua yang tau.

Oppa Watt adalah yang paling tenang saat moment pemakaman. Beliau hanya menangis saat awal-awal berita kepergian keluarga, sejauh yang saya tau. Setelah itu, saya bisa melihat ketenangan dan keikhlasan yang tercampur rasa sedih dalam mata oppa Watt. Beliau adalah orang yang kan menyapapa dan berterima kasih sebanyak mungkin ke pelayat yang hadir secara pribadi, dengan senyum.

Keluarga Wattimena adalah contoh keluarga idaman bagi saya. Saya selalu menemukan keakraban dalam setiap pertemuan keluarga yang saya hadiri, dan selalu tidak bosan. dan sebenarnya masih banyak lagi hal-hal yang patut saya bagikan ke kalian soal betapa luar biasanya keluarga ini. Keluarga Wattimena juga punya beberapa anak angkat yang saya kenal juga, dan tidak ada jarak sama sekali di sana bukti dari ketulusan mereka masing-masing. Keluarga Wattimena sekarang tinggal Oppa Watt, kak Grace, dan mbak Nia. Saya selalu berdoa bagi kesehehatan mereka, karena hanya itu yang baru bisa saya lakukan. Bagi saya, kami sekeluarga akan selalu utang rasa dan budi dengan mereka. Terimakasih ke Tuhan karena telah mempertemukan keluarga kami, semoga kalian sehat dan Sentosa. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Album of the month #June : Eleanor whisper - Mati Bersemi (2024)

WE BECOME THE ONE THAT WE HATE.

DEVIANT ROGUE FRACTION OF DISMAY PRESS RELEASE