APASIH #003: Indonesia, whats wrong?
Hidup di Indonesia sejauh yang saya rasakan adalah sebenar-benarnya hidup dalam komedi yang absurd. Ya paling tidak apa yang saya tulis kali ini juga di Amin-i oleh beberapa teman saya. Pertama, bagi saya yang lahir di keluarga yang dari kalangan menengah kebawah, hidup sudah kadung keras, ditambah bahwa saya hidup di Indoensia. Di Indonesia, hidup dengan mengelompokkan strata sosial dari kelas ekonomi secara sadar dan tidak telah merasuk ke semua lini masyarakat, baik pergaulan atau birokrasi.
Saya
yakin kamu pasti pernah mendapat atau paling tidak melihat bagaimana masyarakat
kelas bawah diperlakukan secara tidak adil di Indonesia. Mulai dari di depan
perlakuan hukum, perlakuan dalam pelayanan umum, hingga tidak satu dua hal
seorang bocah yang lahir di keluarga miskin tidak mendapat akses pendidikan
yang layak. Jangankan akses pendidikan layak, anak dari keluarga miskin yang
bisa bersekolah di sekolah umum juga tidak jarang malah mendapat bully. Saya
jelas pernah mendapat itu semua, anda beruntung jika belum pernah dan saya
tidak iri atau sedang membandingkan rasa sakit, sumpah.
Yang kedua, yang menurut saya tidak kalah lawak
juga. Hidup di Indonesia TIDAK CUKUP HANYA MENJADI ORANG INDONESIA SAJA. Ini
beneran lho dan sekali lagi, saya juga mengalami ini secara pribadi. Apa
maksutnya hidup di Indonesia tidak cukup hanya jadi Indonesia? gini. Di
masyarakat Indonesia, kamu dianggap perlu mempunyai identitas tempat lahir,
kelompok suku, dan yang lebih ekstrim lagi agama. Saya lahir di Jawa tengah,
sempat tinggal di Sidikalang, Sumatra Utara, kampung halaman bapak saya. Secara
keluarga saya adalah persilangan dari ibu Jawa dan bapak Batak. Secara budaya
dan pendidikan saya jelas orang Jawa, tapi karena di belakang nama saya ada
marga yang identik dengan orang batak, ke-Jawaan saya sering
diperdebatkan.
Pun di kampung halaman ayah saya, saya yang sebenarnya punya "suara" besar karena secara keturunan adar saya adah cucu laki-laki pertama dari anak laki-laki tertua di keluarga saya. Sewaktu sempat pulang kemarin, saya mendapat kesempatan dengan para orang tua yang jelas mempertanyakan ke-batakan saya. Mereka bilang saya sudah "hidup" sebagai orang Jawa. Tidak jelas yang dimaksut itu dalam artian baik atau sebaliknya, tapi yang jelas saya tidak hidup di sana sebagai orang Indonesia saja.
Fase masa muda yang kadang mengalami krisi identitas
jelas membuat saya pribadi bertanya-tanya, mengapa saya harus datang dari
kalangan atau komunitas tertentu jika ingin hidup di suatu tempat. Belum lagi
yang lebih absurd adalah banyak orang yang menganggap saya berasal dari etnis
Chinese. Yang ini saya jelas heran, saya juga sipit karena pakai kacamata sejak
kecil, kulit juga putih sekenanya, dan teman-teman saya yang chinese juga
sedikit.
Yang ketiga yang nggak bikin heran, perasaan saya di Indonesia ini apa-apa nggak boleh deh. Nah untuk permasalahan ini saya kurang paham mengapa bisa seperti ini, apalagi jika kita melihat di timeline sosial media. Sempat bebapa waktu lalu polemik mempertanyakan nama bayi dipertanyakan. Sopan kah begitu? Apakah kita boleh menanyai perihal pribadi seperti itu, hingga pertanyaan dan solusi-solusi konyol muncul di kolom reply.
Itu baru satu, ada juga perdebatan soal “boleh nggak mengetuk pintu orang tanpa
mengabari dulu” dan yang dijadikan contoh kasus salah satunya adalah para
tukang poaket dan ojek online, bodoh kan?. Ini itu tidak boleh, ini itu sopan
nggak, ini itu dan ini itu yang lain-lain. Memang, yang ada di atas hanyalah
opini pribadi, namun melihat sesuatu yang tidak penting seperti itu
diperdebatkan di medio sosial dan lewat timeline pribadi, saya jelas terganggu
dan tergelitik untuk memikirkan dair sudut pandang sayas juga.
Sekali lagi, hidup di Indonesia adalah hidup dalam
realitas komedi yang absurd. Entah anda sadar atau tidak, tapi memang begitu
adanya. Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia
melalui survey Microsoft adalah salah satu dari masyarakat pengguna internet
paling tidak sopan di dunia. Orang bisa menjadi siapa saj di internet, namun yang
dilakukan masyarakat Indonesia kadang tidak bisa diterima tanpa tertawa,
termasuk saya pribadi tentunya.
Itu adalah sedikit dari keresahan saya hidup di
Indonesia. Sengaja saya tidak membahas politik karena akan lebihi lucu lagi.
Saya juga sudah berhenti mengikuti berita politik setahun belakangan karena
sudah menganggap sudah sama sekali tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Tapi
dari sekian banyak permasalahan dan keresahannya saya tetap bersyukur lahir di
Indonsia. Bukan karena apa, sekedar karena saya dapat ibu yang luar biasa. Dan
untuk bayi-bayi yang baru lahir di Indonesia, selamat datang dik, welcome to
the club.
Komentar
Posting Komentar