Selera Musik Bagus, Maksutnya?

 


Berbicara soal selera musik memang tidak akan ada habisnya. Pasalnya hal-hal yang berhubungan dengan selera memang ada baiknya tidak diperdebatkan. Bisa jadi apa yang sangat bisa kita nikmati, sama sekali tidak menarik bagi sebagian orang. Banyak faktor yang membentuk selera musik sesorang. Bisa faktor internal juga faktor eksternal, yang jelas dari faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi selera akan musik bahkan perilaku sehari-hari.

Streotipe macam orang yang suka heavy metal pasti sangar-sangar dan para pop punk lover adalah barisan muda mudi yang heartbreak selalu adalah satu dari sedikit “cap” yang di berikan kepada para penikmat musik tersebut. Nggak salah sih, tapi nggak sepenuhnya bener juga. Kebanyakan memang selera musik tertentu akan berpengaruh kepada –paling tidak- cara para penikmatnya berpakaian. Terbukti, salah satu faktor mengapa nirvana lebih dianggap “mbah”nya grunge daripada Pearl jam atau Soundgarden padahal musik mereka lebih oke, karena generasi pada saat Nirvana lagi ngetop-ngetopnya style “ogah-ogahan” Kurt Cobain banyak ditiru dan dicintai oleh anak muda satu generasi itu. Ya nggak semuanya sih yang begitu, tapi rata-rata ya gitu.

Kembali ke pembahasan faktor pembentuk selera musik, kebanyakan selera musik terbentuk dari apa jenis musik yang sering diputar oleh keluarga atau lingkungan mayoritas seseorang tersebut. Untuk kasus saya pribadi, selera musik saya salah satunya terbentuk oleh ayah saya. Ayah saya adalah seorang Batak pecinta musik, jaman masih muda kata teman-temannya beliau sempat nge-band tipis-tipis bawain Scorpion, bon jovi, panbers, namun tetap mencintai penyanyi rock daerah macam Jack Marpaung dan Victor hutabarat. Melalui beliau saya mendengarkan cerita bagaimana dahsyatnya Iwan Fals dan band separo mitos seperti The rollies dan supergrup macam Kantata Taqwa. Khusus  dua band yang disebutkan terakhir bagi saya adalah bukan tipe musik yang langsung seketika saya suka. Saya baru bisa menerima dan memahami bagaimana musik Kantata Taqwa adalah salah satu musik yang “ajaib” setelah melalui pelbagai perjalanan ngulik musik yang lain.

Berjalannya waktu, saya menghabiskan waktu remaja mendengarkan musik dan ke warnet. Saya bisa dibilang salah satu anak yang pintar bersosialisasi tapi juga kutu buku. Saya pernah menjadi nerd before it was cool. Selera musik saya berkembang dari yang mendengarkan koleksi ayah saya ke referensi yang lebih luas. Saya suka musik pop, RnB, alternatif dan sedikit Jazz tradisional. Sempat suka musik Hip Hop namun tidak pernah terlalu mendalami, namun saya tertarik dengan kulturnya. Masa sekolah menengah saya dihabiskan mendengarkan berbagai macam musik. Namun saya belum juga bisa menikmati musik “keras” macam metal, punk dan teman-temannya. Referensi musik gahar saya terbatas pada Led Zepelin dan Black sabath, itupun hanya di nomor jagoan yang ada di setlist Guitar hero seperti black dog atau war pig. Satu-satunya band lumayan keras yang saya kulik albumnya adalah Green Day dan My Chemical Romance terlepas ke-emoannya yang masih diperdebatkan –saya termasuk orang yang memperdebatkan-. Pada masa-masa tersebut saya gemar sekali berpakaian hitam-hitam dengan ukuran satu huruf diatas ukuran baju saya.

Tapi ada satu momen bagi saya yang menjadi titik balik dimana akhirnya saya punya satu band yang sangat saya cintai, Radiohead. Saya ingat waktu itu nongkrong di coffeeshop teman setelah pulang dari shift kerja. Saya kelas 3 SMA, waktu sudah subuh dan hujan deras sekali hari itu, jadilah saya terjebak disana. Salah seorang teman –bahasa gaulnya abang-abangan -  yang umurnya jauh di atas saya, merekomendasikan salah satu vidio konser Radiohead. Sebenarnya saya sudah mendengarkan beberapa lagu Radiohead namun terbatas di lagu-lagu hitsnya saja. Beberapa teman sebelumnya juga merekomendasikan namun saya belum tertarik, dan saya masih penasaran mengapa ada orang yang hobi dengan sengaja menenggelamkan diri ke dalam hal-hal depresif dengan musik seperti ini.

Dari momen itu, saya sadar bahwa tidak semua musik bagus langsung bisa kita anggap bagus pada saat itu juga. Perlu proses yang bisa jadi lama, tergantung bagaimana lingkungan lanjutan –teman, tempat tongkrong dll- memberi andil dalam pembentukan selera musik seseorang. Bagi saya, sebenarnya musik Radiohead bukan hal yang asing, lagu pertama yang khatam saya mainkan dengan gitar tidak lain dan tidak bukan adalah Creep dari album Pablo Honey. Momen saat saya nonton vidio konser Radiohead itulah yang membuat saya jadi ngulik dan cinta mati sama Radiohead. Perlu kurang lebih 5 tahunan saya baru tau betapa “kerennya” Radiohead.

Album favorit saya adalah Amnesiac, namun album Radiohead yang paling “ngena” bagi saya adalah album Ok Computer. Butuh tenaga ekstra untuk memahami salah satu mahakarya musik abad ke-20 ini. Album yang dibuka dengan beat menghentak dalam lagu Airbag, lalu lagu mistik modelan Paranoid Android termasuk lagu electionnering bertema politik yang sebenarnya lebih oke kalau di taruh di album Pablo Honey. Album ini adalah sejenis album konsep yang sangat diperhatikan dalam penyusunan setlistnya. Saya menikmati masa-masa jengkel dengan bos saya dengan mendengarkan No surprise sepanjang jalan pulang sambil mengumpat dalam hati. Juga menikmati lagu cinta yang depresif macam Exit music (for the film) dan lucky sambil ngrokok di kamar kost seperti pria gotik kurang kerjaan,minus  nyembah setan doang.

Berkat album Ok Computer, saya jadi punya satu standar bagaimana suatu album musik harus diciptakan. Materi album OK Computer terasa seperti akupuntur, sedikit elemen erotika yang tidak lazim, film bertema alien kurang budget, atau referensi film art house yang saya tidak mengerti. Tapi nyatanya ada sesuatu seperti efek “ZING!” di kepala saya setiap kali memutar album ini. Sejak saat itu saya punya keyakinan bahwa album keren karakternya butuh waktu lama sebelum akhirnya album itu berhasil menguburmu dengan sensasi mirip nge-fly. Album itu harus kaya dan memuaskan, bukan sesuatu yang ingin kamu segera bilas dan lepeh setelah rasanya basi dan tidak memuaskan di telinga.

Saya berterimakasih kepada ayah dan teman saya karena telah berhasil membentuk “selera musik saya lebih bagus” daripada selera musik anak sebaya. Meski begitu sebagai sesuatu yang subyektif, seringkali terasa kita terlalu mengglorifikasi istilah “selera musik bagus” yang sebenarnya belum dapat didefinisikan. Seperti pernah dibahas panjang lebar di sebuah esai panjang the guardian, selera gadis muda yang antusias pada boyband kerap dicemooh hanya karena dianggap mewakili contoh “selera buruk”. Padahal pada saat ada labelisasi macam itu, makna utama sebuah musik justru otomatis hilang. Hal ini tidak lepas dari peran dan pengaruh pers. Pers selama abad 20 telah membentuk suatu selera yang dipandang  dipengaruhi sepenuhnya oleh bias kelas menengah (dalam konteks negara barat, agenda ini disokong terutama demografi kulit putih) yang mengakibatkan seiring aku bertambah dewasa gagasan “milikilah selera musik yang bagus” membuat saya merasa skeptis.

Dalam buku “This Is Grime” Hattie Colins menyatakan bahwa selera dalam pengertiannya mempunyai sifat arbitret atau bias. Dalam jaman yang serba internet seperti ini, selera musik bisa dibilang lebih demokratis dibanding masa yang lalu. Selera musik sudah tidak lagi dipengaruhi oleh instansi mapan yang dulu dipakai untuk meme=bentuk selera musik macam top chart radio sudah tergerus pamornya. Penyebabnya jelas karena internet yang mudah di akses dari mana saja dan lebih mudah mendapatkan playlist di web ataupun media streaming seperti Youtube dan Spotify. Anak-anak generasi sekarang bisa menikmati musik bergenre apapun dari negara manapun dibanding anak dari generasi terdahulu yang masih terpaku pada; aku suka musik britpop, atau hiphop, atau menegaskan diri bahwa aku mencintai punk dan kulturnya. Namun ingat, kemampuan untuk memutar playlist mana sih memang hanya butuh kuota, namun memilih playlist mana yang mau diputar, nah disitulah selera berperan.

Konsep selera yang makin demokratis bukan serta merta hilang dalam praktik jaman sekarang, namun kebanyakn hanya terisolir di level individial. Preferensi selera musik adaah hasil dari banyak fakto penunjang, seperti; paparan selera musik lingkungan kita, dan juga dispoisisi kepribadian seseorang. Selera musik memainkan peranan penting kepada keangotaan kelompok dan subtulkur. Berbagai penelitian sosiologi telah membuktikan korelasi yang konsisten antara ciri kepribadian dengan jenis selera musik tertentu. Orang yang mempunya selera musik yang cenderung variatif dan lebih memilih gaya musik yang kompleks dan reflektif kebanyakan mempunyai sifat senang akan pengalaman baru.

Ide yang terkandung dalam konsep “selera” serasa lebih bernuansa daripada sekedar suatu ketertarikan satu set akan suatu ekspresi budaya. Saat masih muda, alam bawah sadar kita cenderung lebih mengikuti arus, terutama jika mengalami ketertarikan kreatif tertentu. Seseorang yang mengajarkan tentang jurnalisme fashion dan dosen mengajarkan soal segala tentang kebersihan dan kerampingan seharusnya kamu setujui jika kamu ingin merasa pintar. Hal tersebut bisa juga dikorelasikan dengan ilustrasi kamu yang tidak suka musik pop karena meganggap jenis musik tersebut terkesan kurang intelektual.

Menilik dari tagline sebuah majah fashion Polyester yang berasal dari kutipan John Waters, “miliki keyakinan pada selera burukmu sendiri, dan bikin kesal teman-teman anda; buka orang tua anda. Itulah kunci kepemimpinan”. Hal ini bisa dilihat dari sisi menariknya. Orang sering merasa minder dan dipermalukan hanya karena berpegang pada selera yang aneh dan tidak biasa yang tidak bisa diterima oleh standar-standar umum. Namun standar tersebut berbeda dari setiap keyakinan orang dan harusnya selera yang tidak sesuai standar sah-sah saja kalau kalian tidak terima hal tersebut dibilang keren bahkan bisa banget walapun seleramu biasa banget karena sehari-hari kamu memutar musik Afgan dan kamu cukup yakin dengan selera musikmu yasudah. Itu sudah keren.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Album of the month #June : Eleanor whisper - Mati Bersemi (2024)

Album of the month #April : Suede - Autofiction (2022)

DEVIANT ROGUE FRACTION OF DISMAY PRESS RELEASE